Palangka Raya – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menghadapi tantangan fiskal yang serius menyusul anjloknya proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026. Menanggapi situasi ini, Gubernur Kalteng, Agustiar Sabran, mengambil langkah tegas dengan mengultimatum pimpinan perusahaan besar di sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Baca Juga : Kasino Online dan Bayangan di Balik Gemerlap Digital: Mengapa Perlu Waspada
Gubernur Agustiar Sabran berencana menggelar pertemuan penting dengan para investor pada 21 Oktober 2025, dengan fokus utama pada peningkatan kepatuhan pajak. Ia menekankan bahwa pertemuan tersebut wajib dihadiri langsung oleh direktur perusahaan, bukan sekadar perwakilan manajer.
“Kami nanti mengundang para investor… yang hadir harus direktur, bukan manajer,” ujar Agustiar di Palangka Raya, Selasa (14/10/2025). “Yang hadir di pertemuan itu harus direkturnya, yang punya kompetensi. Kami perlu meningkatkan pendapatan daerah melalui ketaatan membayar pajak dari perusahaan-perusahaan di ketiga sektor tersebut.”
Ancaman Sanksi dan Isu Kepatuhan Pajak
Langkah Gubernur ini tidak hanya bersifat ajakan, tetapi juga disertai ancaman sanksi tegas. Agustiar menegaskan bahwa perusahaan yang mangkir dari kewajiban perpajakan atau tidak mematuhi arahan pertemuan akan dikenai sanksi berat, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha.
“Kami akan (cabut izinnya), kenapa tidak? Kami kan tahu masalah-masalah mereka yang berinvestasi di sini, kekayaan Kalteng harus kembali ke masyarakatnya,” tegasnya.
Ultimatum ini mencerminkan tingginya frustrasi pemerintah daerah terhadap sektor-sektor ekstraktif yang dominan di Kalteng (batu bara, kelapa sawit, kayu), yang dinilai belum memberikan kontribusi optimal bagi kas daerah sebanding dengan volume eksploitasi sumber daya alam.
Penurunan Drastis APBD Kalteng: Rasionalisasi Program Mendesak
Kebutuhan mendesak untuk meningkatkan PAD muncul setelah terjadi penurunan APBD Kalteng yang signifikan selama tiga tahun berturut-turut, sebagaimana diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Kalteng, Leonard S Ampung.
- Tahun Anggaran Proyeksi APBD (Triliun Rupiah) Keterangan
- 2024 Rp 10,2 triliun Level tertinggi dalam tiga tahun
- 2025 Rp 8,3 triliun Penurunan -18,6%
- 2026 (Awal) Rp 7,3 triliun Proyeksi sementara
- 2026 (Riil) Rp 5,3 triliun Angka riil yang memicu pengetatan anggaran
Leonard menjelaskan bahwa proyeksi APBD 2026 bahkan merosot hingga mencapai angka riil Rp 5,3 triliun. Penurunan drastis ini disebabkan oleh dua faktor utama dari kebijakan fiskal pusat:
Pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD): Kebijakan pengetatan fiskal dari pemerintah pusat memangkas alokasi dana transfer ke Kalteng.
Menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH): Fluktuasi harga komoditas global, khususnya batu bara dan CPO, berdampak langsung pada penurunan DBH yang diterima daerah penghasil.
Dengan anggaran yang menyusut hingga hampir setengahnya dari kondisi 2024, Plt Sekda menekankan perlunya pengetatan dan rasionalisasi program kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng.
Konteks Regional: Dilema Ketergantungan pada Sektor Ekstraktif
Situasi fiskal Kalteng menyoroti dilema yang dihadapi banyak daerah kaya sumber daya alam di Indonesia. Ketergantungan yang tinggi pada TKD dan DBH membuat APBD sangat rentan terhadap kebijakan pusat dan volatilitas harga komoditas.
Langkah Gubernur Agustiar Sabran untuk memaksa perusahaan agar patuh pada kewajiban pajak dapat dilihat sebagai upaya terakhir untuk:
Mengamankan Sumber Pendapatan: Mengalihkan fokus dari dana transfer pusat ke potensi PAD dari sektor-sektor yang beroperasi di wilayahnya.
Meningkatkan Keadilan Fiskal: Memastikan bahwa kekayaan alam Kalteng benar-benar memberikan manfaat finansial yang substansial bagi pembangunan daerah, bukan hanya bagi operasional perusahaan.