Uji Formil UU TNI – Sebuah momen menarik terjadi dalam sidang uji formil Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 21 Juli 2025. Prof. Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), secara terbuka mengakui penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk menjawab pertanyaan dari pihak DPR-RI. Pengakuan ini sontak menjadi sorotan, menandai adaptasi teknologi dalam ranah hukum yang progresif.
Baca Juga : Jangan Khawatir! Penerima BLT dan PKH Tetap Bisa Ajukan KUR, Ini Penjelasannya Lengkapnya
Prof. Satya Arinanto, yang hadir sebagai ahli dalam sidang perkara nomor 45, 56, 69, 75, 81/PUU-XXIII/2025, menjelaskan keputusannya menggunakan AI. “Mohon izin saya baca langsung dari AI, karena saya tidak mempersiapkan jawaban terhadap bapak penerima kuasa konstitusi. Saya memanfaatkan kemajuan teknologi,” ujar Satya di hadapan majelis hakim dan para pihak.
Uji Formil UU TNI Peran AI dalam Menjawab Pertanyaan DPR: Studi Kasus Lobi Parlemen AS
Perancang Peraturan UU Ahli Utama Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul, mengajukan pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Prof. Satya dengan bantuan AI. Pertanyaan tersebut menyoroti praktik kelompok lobi di parlemen Amerika Serikat.
ChatGPT said:
Prof. Satya membacakan informasi dari AI yang menyebut bahwa Kongres Amerika Serikat mempekerjakan kelompok-kelompok khusus secara profesional untuk memengaruhi keputusan legislatif dan arah kebijakan pemerintah. Mereka melakukan ini dengan berinteraksi langsung dengan anggota kongres.
“Di sana mereka juga cara-caranya mempengaruhi legislasi, memberikan informasi dan data, menjalin hubungan, mengorganisasi dukungan dan lain-lain,” papar Prof. Satya mengutip jawaban AI.
Menurut Prof. Satya, model kelompok lobi seperti ini ideal untuk dibentuk di Indonesia.Ia melihatnya sebagai representasi dari partisipasi publik yang masih memiliki pengertian sangat luas dan kurang terstruktur. Kondisi ini menjadi respons terhadap argumen pihak DPR yang mengusulkan adopsi model Amerika Serikat. Tujuannya agar partisipasi publik bisa terdaftar secara legal, khususnya dalam proses pembentukan undang-undang.
“Apakah kita perlu model-model seperti itu agar, seperti yang tadi Prof Satya atau Saudara Ahli katakan, bahwa kelompok-kelompok masyarakat itu banyak yang mengaku ataupun banyak juga yang tidak memahami proses, sehingga partisipasi publik menjadi absurd?” tanya Inosentius. Ia menggarisbawahi kegamangan dalam memahami mekanisme partisipasi publik yang efektif.
Uji Formil UU TNI: Sorotan pada Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Sebagai informasi latar belakang, sidang uji formil UU TNI ini menyoal proses pembentukan beleid tersebut. Proses itu dinilai tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Para pemohon dalam perkara ini mempersoalkan dugaan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan. Asas-asas itu diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
- Asas-asas yang menjadi perhatian utama meliputi:
- Asas kejelasan tujuan
- Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
- Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
- Asas dapat dilaksanakan
- Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
- Asas kejelasan rumusan
- Asas keterbukaan
Khususnya, asas keterbukaan menjadi poin krusial. Berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU P3, pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan, wajib bersifat transparan dan terbuka. Hal ini dimaksudkan agar seluruh lapisan masyarakat memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan AI oleh seorang guru besar dalam persidangan MK ini tidak hanya menunjukkan bagaimana teknologi semakin terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga membuka diskusi tentang efisiensi dan transparansi dalam proses legislasi di Indonesia.