Bangkok/Phnom Penh – Konflik militer antara Thailand dan Kamboja meningkat tajam dan meluas ke lima provinsi di wilayah perbatasan kedua negara pada Selasa (9/12/2025). Eskalasi ini mengancam stabilitas regional dan memicu krisis kemanusiaan di perbatasan.
Menurut laporan dari kantor berita AFP, militer Thailand melepaskan tembakan ke arah Provinsi Banteay Meanchey pada Selasa dini hari. Insiden penembakan ini mengakibatkan tewasnya dua warga sipil yang sedang melintas di Jalan Nasional 54. Sehari sebelumnya, empat warga sipil lainnya tewas dalam insiden penembakan terpisah di Provinsi Preah Vihear dan Oddar Meanchey, sebagaimana dikonfirmasi oleh Menteri Informasi Kamboja, Neth Pheaktra.
Baca Juga : Kerugian Akumulatif Rp 1.168 Triliun: Meta Memangkas Ambisi Metaverse dan Berpaling ke AI
Korban Jiwa dan Krisis Pengungsian
Angka korban jiwa dari militer dan sipil terus bertambah. Militer Thailand melaporkan bahwa satu prajurit mereka tewas dan 18 lainnya mengalami luka-luka sejak konflik kembali pecah pada Minggu (7/12/2025). Total korban tewas dari kedua belah pihak kini mencapai sedikitnya 10 orang.
Dampak kemanusiaan dari konflik ini sangat parah. Dilaporkan, lebih dari 140.000 warga telah mengungsi dari daerah-daerah yang dianggap rawan dan dekat dengan garis pertempuran untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman.
Terdapat laporan mengenai satu kematian saat proses evakuasi warga. Namun, pihak berwenang mengklarifikasi bahwa kematian tersebut disebabkan oleh kondisi medis yang sudah diderita korban sebelumnya, bukan karena luka tembak atau insiden terkait konflik.
Klaim Thailand Mengenai Target Strategis
Pada Senin (8/12/2025), konflik memasuki fase baru ketika Thailand meluncurkan serangan udara dan mengerahkan kendaraan tempur lapis baja ke wilayah perbatasan yang disengketakan. Mengutip The Independent, Angkatan Udara Kerajaan Thailand (RTAF) mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa serangan tersebut bukan merupakan serangan membabi buta, melainkan diarahkan pada sejumlah target strategis Kamboja.
RTAF secara spesifik menyebutkan bahwa serangan tersebut menargetkan gudang senjata, pusat komando, dan jalur logistik Kamboja yang dianggap menimbulkan ancaman langsung terhadap kedaulatan Thailand.
“Pihak Kamboja memobilisasi persenjataan berat, memindahkan unit-unit tempur, dan mempersiapkan elemen-elemen pendukung tembakan,” ujar RTAF dalam pernyataannya. “Kegiatan-kegiatan tersebut dapat meningkatkan skala operasi militer dan secara signifikan mengancam wilayah perbatasan Thailand,” tambah pernyataan itu, membenarkan langkah responsif Thailand.
Bantahan dan Sengketa Historis
Ketegangan yang kembali memanas ini berakar pada sengketa perbatasan yang telah berlangsung lebih dari satu abad, sejak masa penjajahan Perancis di Indocina. Kedua negara masih saling mengeklaim kedaulatan atas sejumlah situs bersejarah, termasuk candi-candi kuno yang terletak di garis perbatasan.
Di sisi politik, Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, menegaskan bahwa negaranya tidak menginginkan kekerasan atau eskalasi lebih lanjut. Namun, ia menekankan bahwa militer Thailand siap mengambil semua tindakan yang dianggap perlu demi menjaga keamanan dan kedaulatan nasional dari ancaman eksternal.
Sebaliknya, Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja membantah keras tuduhan bahwa mereka adalah pihak yang memulai bentrokan. “Dengan menjunjung tinggi semangat menghormati semua perjanjian sebelumnya dan menyelesaikan konflik secara damai sesuai hukum internasional, Kamboja sama sekali tidak melakukan pembalasan atas dua serangan yang diluncurkan pihak Thailand,” demikian pernyataan resmi kementerian, menuduh Thailand sebagai agresor.