Beranda » Masih Cinta Tapi Berselingkuh? Mengungkap Alasan di Balik Fenomena Tak Terduga

Masih Cinta Tapi Berselingkuh? Mengungkap Alasan di Balik Fenomena Tak Terduga

Alasan Orang Tetap Selingkuh – Perselingkuhan seringkali dikaitkan dengan hilangnya rasa cinta atau ketidakpuasan dalam hubungan. Namun, realitanya tak selalu sesederhana itu. Ada banyak kasus di mana seseorang yang berselingkuh justru masih sangat mencintai pasangannya, bahkan seringkali memuji dan menunjukkan kasih sayangnya di hadapan publik dan media sosial. Lantas, mengapa fenomena paradoks ini bisa terjadi?

Baca Juga : Agar IKN Tak Terlantar: Wakil Ketua DPR Dorong Wapres Segera Berkantor di Ibu Kota Baru

Alasan Orang Tetap Selingkuh

Menurut psikolog keluarga dan konsultan pranikah yang berpraktik di Semarang, Jawa Tengah, Sukmadiarti, M.Psi., ada beberapa faktor mendalam yang bisa mendorong seseorang untuk berselingkuh meskipun mereka masih memendam cinta pada pasangannya dan menyayangi keluarga kecilnya. Sukmadiarti mengidentifikasi tiga penyebab utama, yaitu luka inner child, faktor lingkungan, dan kebutuhan untuk memuaskan ego.

Inner Child yang Terluka: Trauma Masa Lalu yang Belum Tuntas

Inner child merujuk pada aspek dalam diri orang dewasa yang merepresentasikan pengalaman, emosi, dan kebutuhan yang belum terpenuhi atau konflik yang belum terselesaikan di masa kanak-kanak. Kondisi ini seringkali termanifestasi dalam perilaku atau kebutuhan yang cenderung kekanak-kanakan.

    Penyebab utama inner child yang terluka adalah konflik atau trauma batin yang tidak terselesaikan sejak masa kecil seseorang. Trauma ini bisa berasal dari lingkungan keluarga maupun pertemanan yang tidak sehat atau penuh tekanan. Sukmadiarti mencontohkan kasus seseorang yang orang tuanya pernah berselingkuh saat ia kecil. Ketika ia dewasa dan menghadapi tekanan atau masalah dengan pasangan, ia cenderung menyimpan emosi. Pelarian dari tekanan tersebut akhirnya muncul dalam bentuk perselingkuhan sebagai mekanisme pertahanan diri yang tidak disadari.

    Ketika individu dengan inner child yang terluka menghadapi masalah dalam rumah tangga, mereka sering kesulitan mengelola emosi dengan sehat. Alih-alih mencari solusi, mereka cenderung menggunakan mekanisme pelarian atau pengalihan perhatian dari masalah utama. Perselingkuhan kerap menjadi jalan pintas untuk menghindari konfrontasi dengan konflik yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka mungkin tidak tahu atau tidak terbiasa menghadapi konflik secara dewasa. Sebaliknya, individu yang mampu mengelola emosi dan bersikap terbuka akan menghadapi masalah dengan lebih tegar. Mereka juga cenderung mencari solusi yang lebih konstruktif dan sehat bagi hubungan.

    Pengaruh Lingkungan: Godaan dan Pembenaran Sosial

    Faktor lingkungan juga berperan signifikan dalam mendorong seseorang untuk berselingkuh, terutama jika individu tersebut tidak memiliki kontrol diri yang kuat untuk tetap setia pada pasangannya. Lingkungan bisa datang dari berbagai sumber:

      Lingkup Pertemanan: Seseorang bisa terpengaruh jika berada dalam lingkungan pertemanan di mana perselingkuhan dianggap lumrah atau bahkan dibenarkan. Melihat banyak teman melakukan hal serupa bisa mengurangi rasa bersalah dan memicu keinginan untuk “ikut-ikutan”.

      Lingkungan Kerja yang Toksik: Budaya kerja tertentu juga bisa menjadi pemicu. Sukmadiarti mencontohkan budaya “servis tamu” di mana karyawan didorong untuk membangun kedekatan personal yang tidak sehat demi mencapai kesepakatan bisnis. Lingkungan seperti ini bisa mengaburkan batasan moral dan etika, membuat perselingkuhan terasa lebih mudah atau bahkan “dibutuhkan”.

      Memuaskan Ego: Rasa Kuasa dan Pembuktian Diri

      Perselingkuhan juga bisa menjadi cara untuk memuaskan ego pribadi. Hal ini rentan terjadi pada individu yang memiliki jabatan tinggi, kekuasaan, atau harta berlimpah. “Mereka merasa bisa mendapatkan siapa saja untuk pencapaian pribadi, pembuktian diri,” jelas Sukmadiarti.

        Dalam kasus ini, perselingkuhan bukanlah tentang cinta atau kebutuhan emosional, melainkan tentang validasi diri dan penguatan rasa superioritas. Pelaku merasa bahwa status atau kekayaan mereka memberikan “hak” untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, termasuk hubungan di luar pernikahan yang sah, sebagai bentuk “pembuktian” akan daya tarik atau kekuatan mereka.

        Kurangnya Apresiasi: Dampak dari Hubungan yang Hambar

        Meskipun perselingkuhan merupakan tindakan yang salah, Sukmadiarti menekankan bahwa kedua pasangan sering kali berperan dalam munculnya masalah ini melalui dinamika hubungan mereka. Salah satu pemicu yang seringkali terlewatkan adalah kurangnya apresiasi dalam hubungan pernikahan.

          Ketika pasangan tidak menghargai, mengakui usaha, atau memberikan perhatian dan pujian yang cukup, pasangannya bisa mulai mencari validasi dan apresiasi di luar hubungan. Ini bukan berarti membenarkan perselingkuhan, tetapi menyoroti pentingnya komunikasi yang sehat dan upaya saling menghargai dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Pasangan yang merasa kurang diapresiasi mungkin lebih rentan terhadap godaan dari pihak ketiga yang menawarkan perhatian dan penghargaan yang mereka dambakan.

          Fenomena perselingkuhan saat masih cinta ini mengingatkan kita bahwa hubungan manusia sangat kompleks. Memahami akar masalah, baik itu dari masa lalu, pengaruh lingkungan, kebutuhan ego, atau kurangnya apresiasi dalam hubungan, adalah langkah awal untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Komunikasi terbuka, pengelolaan emosi yang baik, dan saling menghargai adalah kunci untuk membangun pondasi hubungan yang kuat dan tahan banting.

          madebekel

          Kembali ke atas